Rabu, 31 Maret 2010

"Sasi" Melawan Degradasi Lingkungan

"Sasi" Melawan Degradasi Lingkungan

Jauh sebelum orang-orang secara global membahas pentingnya pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan, masyarakat Maluku sudah menerapkannya sejak lama. Melalui hukum adat sasi yang diwariskan turun-temurun dari leluhur, orang Maluku dengan sendirinya telah menjaga kelestarian lingkungan.

Saat beragam jenis ikan di Teluk Un di Desa Taar, Kecamatan Dullah Selatan, Tual, menyusut akibat penangkapan setiap hari oleh nelayan setempat pertengahan Maret lalu, pemangku adat tertinggi di desa itu bersama sejumlah tetua adat dari empat marga berkumpul.


" Mereka percaya jika dilanggar, bencana akan langsung menimpa"

Perlunya sasi dipakai di Teluk Un mengemuka dalam pertemuan. Semua yang berkumpul sepakat sasi digunakan.

Sasi yang di Pulau Kei Besar disebut yot dan di Pulau Kei Kecil disebut yutut adalah larangan untuk mengambil sumber daya alam di suatu kawasan dalam jangka waktu tertentu, biasanya enam bulan sampai satu tahun. Tujuannya, menjaga kelestarian lingkungan dan menjamin hasil lebih berkualitas dan berlipat di masa depan.

Upacara adat pun digelar. Tiga janur kuning dan kayu jenis ai num sebagai syarat sasi pun disiapkan. Usai doa adat dan doa oleh pemuka adat di gereja dilakukan, janur kuning diikat pada kayu lalu ditancapkan di dasar teluk.

”Selama satu tahun, ikan apa pun di teluk itu tidak boleh diambil,” ujar Kepala Desa Taar sekaligus pemangku adat tertinggi di Desa Taar, Herman Tarantain. Nelayan harus mencari ikan di lokasi lain sampai populasi ikan di Teluk Un pulih.

Salah satu contoh pelaksanaan ketika sasi dibuka tiga tahun lalu, hasil ikan di Teluk Un melimpah. Saking melimpahnya, sebagian dari hasil ikan itu lalu dijual dan uangnya dipakai untuk pembangunan sekaligus peresmian gereja baru di Taar.

Di tempat lain di Pulau Kei Besar, pulau yang bersebelahan dengan Tual dan Kei Kecil di Maluku Tenggara, sasi kerap digunakan melindungi hutan. Sasi juga secara rutin dipakai guna menjamin kesinambungan populasi lola (kerang). Kerang tidak hanya penting untuk mata pencarian warga, tetapi penting pula guna mengubah zat polutan menjadi nutrisi bagi ikan.

Di mana pun sasi dipasang, warga Kei pantang melanggarnya. ”Mereka percaya jika dilanggar, bencana akan langsung menimpa. Bencana itu bisa sakit yang tidak bisa disembuhkan dokter atau bahkan bisa sampai meninggal,” ujar Theodorus Reyan (57), warga Loon, Kei Kecil.

sumber : kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar