Minggu, 23 Mei 2010

Belum Ditemukan Obat Penyembuh Epilepsi

Belum Ditemukan Obat Penyembuh Epilepsi
PELENGKAP DIAGNOSIS , Beberapa jenis pemeriksaan seperti CT scan dan MRI bisa digunakan untuk melengkapi pendiagnosisan epilepsi

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, epilepsia, yang artinya serangan.
Di Indonesia, epilepsi lebih dikenal sebagai penyakit ayan.
Di negara maju, epilepsi memiliki rasio 50 berbanding 100.000, dan di negara berkembang rasionya dua kali lebih besar daripada negara maju.
Sebagian besar penderita epilepsi di negara-negara berkembang adalah anak-anak.
Penyakit itu disebabkan kelainan bangkitan listik jaringan saraf yang tidak terkontrol dengan baik pada sebagian maupun keseluruhan otak.
Epilepsi bukan merupakan penyakit menular atau turunan.
Meski telah diketahui epilepsi bukan termasuk penyakit menular atau turunan, hingga saat ini, para dokter belum bisa memastikan faktor pemicu penyakit tersebut.
Diperkirakan umumnya epilepsi dipicu oleh kerusakan otak dalam proses kelahiran, luka kepala, stroke, tumor otak, dan alkohol.
Ada beberapa tanda yang bisa menunjukkan bahwa seseorang terserang epilepsi, yakni timbul kejang-kejang dan kondisi itu kerap berlangsung secara berulang-ulang.
Umumnya penderita akan merasakan kejang parsial simplek yang dimulai dengan adanya muatan listrik di bagian otak tertentu pada area yang terbatas.
Ketika terserang kejang parsial simplek, penderita akan mengalami suatu sensasi dan melakukan gerakan-gerakan yang tak terkontrol.
Semua itu bergantung pada daerah otak yang diserang.
Misalnya, apabila yang diserang ialah otak yang mengendalikan gerakan otot lengan kanan, maka lengan kanan akan bergo yang dan mengalami sentakan.
Selain kejang parsial simplek, ada kejang jacksonian dengan gejala yang dimulai pada satu bagian tubuh tertentu, semisal tangan atau kaki.
Selanjutnya kejang itu akan menjalar ke anggota gerak sejalan dengan penyebaran aktivitas listrik di otak.
Ada pula kejang konvulsif, biasa nya dimulai dengan kelainan muatan listrik di daerah otak yang terbatas.
Muatan listrik itu segera menyebar ke daerah otak lainnya dan menyebabkan seluruh daerah mengalami kelainan fungsi.
Pada kejang konvulsif, penderita mengalami penurunan kesadaran sementara, juga kejang otot yang hebat dengan sentakan-sentakan di seluruh tubuh.
Pascakejang, penderita akan mengalami sakit kepala dan linglung sementara waktu dan biasanya tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama kejang.
Diagnosis penyakit epilepsi dilakukan berdasarkan gejala-gejala yang dialami pasien.
Selain itu, pemeriksaan terhadap penderita epilepsi bisa dilakukan dengan menggunakan elektroensefalogram (EEG), yakni dengan menempelkan elektroda di kulit kepada untuk mengukur impuls aktivitas listrik di dalam otak.
Beberapa pemeriksaan, seperti CT scan dan MRI, biasanya dilakukan pula untuk melengkapi diagnosis epilepsi.
Pemeriksaan itu berguna untuk mengetahui adanya tumor, kanker otak, atau kemungkinan cedera otak.
Diperlukan sejumlah pemeriksaan lainnya, seperti pemeriksaan darah rutin untuk mengukur kadar gula, kalsium, dan natrium dalam darah, serta jumlah sel darah putih.
Semua pemeriksaan itu memang baru sebatas untuk mendiagnosis penyakit, bukan mengobati.
Pasalnya, hingga kini, belum diketahui dengan pasti obat yang benar-benar bisa menyembuhkan epilepsi.
Namun, hal yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya serangan epilepsi ialah menghilangkan faktor pemicunya dan mengurangi bahaya bagi penderita. Salah satu upaya itu ialah mengurangi tingkat stres penderita.
Apabila serangan epilepsi membuat penderita jatuh pingsan, hal yang harus dilakukan ialah membaringkan penderita dalam posisi telentang dan melonggarkan pakaiannya.
Untuk menghindari lidah tergigit, sebaiknya diselipkan kain bersih yang sudah dilipat atau sendok di sela-sela gigi atas dan bawah penderita.

sumber : http://www.koran-jakarta.com/

Amazonnya Indonesia dengan segudang kekayaan

Sungai Mamberamo
Amazonnya Indonesia dengan segudang kekayaan

Kalau di Brasil terkenal dengan Sungai Amazon yang dihuni oleh keragaman hayati tinggi, Indonesia pun memiliki sungai yang tak kalah uniknya, yakni Sungai Mamberamo. Sungai sepanjang 670 km ini berada di selatan Pegunungan Foja dan melintas di enam kabupaten (Jayapura, Mamberamo, Sarmi, Jayawijaya, Yapen Waropen, dan Paniai) Provinsi Papua. Ya, Sungai Mamberamo memang unik dari banyak sudut pandang.

Ia menjadi jalur transportasi air bagi penduduknya. Debit airnya berlimpah ruah. Berdasarkan hasil pengukuran, sungai yang mempunyai kedalaman terdalam 33 m itu memiliki debit air sebesar 5.500 m³/detik. Potensi ini sesuai dengan nama Mamberamo yang berasal dari bahasa Dani, yakni mambe berarti besar dan ramo adalah air. Besarnya debit itu disebabkan curah hujan di daerah aliran sungai (DAS) Mamberamo sangat tinggi, mencapai 5.600 mm/ tahun. Selain itu, Sungai Mamberamo ini juga berasal dari pertemuan dua sungai besar, yakni Taritatu dari arah timur dan Tariku dari barat.

Sungai ini lalu bermuara di Samudra Pasifi k. Luas total DAS tersebut hampir sebesar Pulau Jawa, yakni mencapai 79.440 km2. Topografi nya juga menawan. Di bagian hulu misalnya, sungai itu berada di pegunungan yang curam. Lalu di bagian tengahnya berupa cekungan dataran tinggi yang luas. Sedangkan di daerah hilir, berupa dataran rendah yang berawa.

PLTA Terbesar

Berdasarkan kondisi inilah, Mamberamo memiliki potensi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) terbesar di Indonesia. Berdasarkan hitungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Mamberamo memiliki potensi tenaga air sebesar 12.284 MW yang tersebar di 34 lokasi. Ini berarti, hampir sepertiga dari potensi tenaga air di Indonesia itu berada di Mamberamo.

Di era pemerintahan BJ Habibie, potensi ini sudah direncanakan sebagai megaproyek di kawasan timur Indonesia. Maklum, ketika listrik di kawasan terpencil itu tersedia dengan harga terjangkau, maka ia dapat memacu pertumbuhan industri secara pesat. Apalagi, kondisi geologi di sepanjang Mamberamo memiliki potensi tambang yang sangat menggiurkan.

Survei geologi menunjukkan, kawasan ini kaya bahan tambang. Di antaranya bauksit (yang dapat diolah menjadi alumunium), baja, tembaga, emas, dan nikel. Jika tersedia energi listrik, berbagai industri pengolahan tambang di sana dapat terwujudkan. Pertumbuhan ekonomi pun dapat melaju kencang.

Sumber daya manusia lokal tampaknya belum siap dengan pembangunan megaproyek tersebut. Faktor inilah yang membuat pemerintah menunda pembangunan megaproyek tersebut. Penundaan ini disambut positif sejumlah aktivis lingkungan. Mereka mengkhawatirkan, jika megaproyek itu terwujud, maka berdampak negatif terhadap lingkungan alam yang masih perawan itu. Apalagi koleksi keragaman hayati fl ora dan fauna di sepanjang DAS Mamberamo sangat berlimpah, spesifi k, dan menawan. Belum lama ini misalnya, ditemukan beberapa spesies baru yang menghuni Suaka Margasatwa Mamberamo-Foja seluas 2 juta ha.

Beberapa spesies baru yang ditemukan di hutan tropis nan lebat berketinggian 2.000 m di atas permukaan laut itu antara lain kupu-kupu hitam dan putih (Ideopsis fojona), katak berhidung panjang (Litoria sp. nov), pergam kaisar (Dacula sp. Nov). Penemunya adalah peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), the National Geogra phic Society, dan Smithsonian Institution.

143 Jenis Burung

Di samping itu mereka juga menemukan spesies endemik seperti kelelawar kembang baru (Syconycteris sp. nov), tikus pohon kecil (Pogonomys sp. nov), semak belukar berbunga (Ardisia hymenandroides), dan walabi kecil (Darcopsulus sp. nov). Di luar temuan itu, kawasan ini juga dihuni oleh 143 jenis burung, termasuk cendrawasih yang memiliki tubuh dan warna bulu sangat elok dipandang mata. Dua jenis buaya, yakni buaya muara (Crocodile porossus) dan buaya darat (Crocodile novaquinea), juga berhabitat di sungai yang memiliki lebar terbesar di Indonesia. Kedua spesies buaya ini menjadi perburuan bagi masyarakat tradisional, khususnya dari suku Bauzi.

Cara berburunya juga khas. Dulu, untuk menangkap buaya beberapa pria harus menyelam. Alat yang dipakai hanya tali rotan. Kini, sudah agak maju, Mereka menggunakan tombak (dao) dan kail untuk memburu buaya. Daging hasil perburuan itu disantap. Sedangkan kulitnya dijual dengan harga tinggi. Potensi fl oranya juga menakjubkan. Menurut Gubernur Papua, Barnabas Suebu, DAS Mamberamo dihuni sekitar 300.000 hektare hutan sagu. Sagu-sagu itu tumbuh subur di sepanjang sungai, terutama di bagian hilir dan rawa-rawa. Selama ini, sagu hanya dijadikan makanan utama bagi penduduk lokal.

Kalau saja sagu-sagu ini dikonversi menjadi bio etanol maka akan menghasilkan lebih dari 4,5 juta liter per tahun. Bio etanol merupakan sumber energi yang terbarukan dan ramah lingkungan. Ia dapat dipanen kapan saja sepanjang sagu-sagu tersebut ditanam. Potensi pohon nipahnya juga sangat besar. Hasil sadapannya juga dapat diolah menjadi bio etanol berkualitas tinggi. Singkat kata, sumber daya raksasa tersebut merupakan masa depan yang gemilang bagi tumbuhnya industri bio etanol.

sumber : http://www.koran-jakarta.com/

Kearifan Lokal Manusia Perahu

Kearifan Lokal Manusia Perahu

Di tengah kesibukan para ilmuwan mencari solusi dari perubahan iklim, ternyata sebagian jawabannya ada pada kearifan suku Bajo.

Bila prediksi dampak perubahan iklim benar-benar terjadi antara 2050-2100, suku Bajo boleh dibilang masyarakat paling siap menghadapinya. Pasalnya, sejak lahir, keturunan suku Bajo sudah dikenalkan dengan kehidupan di atas permukaan air.

Menurut Profesor AB Lapian, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, suku Bajo atau bajau merupakan sekumpulan orang yang menggantungkan hidupnya di laut. Boleh dibilang hidup dan mati mereka bergantung dengan laut, ujar Lapian. Seluruh aktivitas mereka dihabiskan di atas perahu. Karena itu, mereka dikenal dengan julukan suku nomaden laut.

Hal inilah yang ingin dipelajari dan diterapkan para ilmuwan menghadapi ancaman pulau-pulau tenggelam itu. Di sisi lain, para peneliti kesulitan mendapatkan data akurat tentang asal-usul nenek moyang suku Bajo. Menurut Lapian, ada berbagai macam versi sejarah riwayat leluhur mereka. Versi cerita rakyat menyebutkan suku Bajo berasal dari Johor, Malaysia. Ada pula yang mengatakan berasal dari Filipina atau Bone (Sulawesi Selatan).

Namun, menurut Dr Munsi Lampe, antropolog dari Universitas Hasanuddin Makassar, jumlah suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di atas perahu diperkirakan semakin sedikit karena hidup menepi di pesisir pantai dan mendirikan rumah panggung.

Digambarkan dalam buku Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, rumah panggung suku Bajo dibangun menggunakan bahan yang terbilang ramah lingkungan. Dindingnya terbuat kombinasi kayu dan anyaman bambu. Sedangkan bagian atap dari daun rumbia.

Di Desa Holimombo, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, suku Bajo sudah dapat beradaptasi dengan kehidupan modern. Di desa tersebut ada semacam balai-balai tempat berkumpul masyarakat untuk menonton televisi. Mereka menggunakan antena parabola untuk mendapatkan siaran dari berbagai stasiun televisi. Meski demikian, cara mereka menonton televisi tergolong hemat energi. Sebab, selalu dilakukan beramai-ramai. Mereka juga hanya menggunakan listrik pada malam hari saja.

Kehidupan suku Bajo modern juga dapat ditengok di perkampungan Sama Bahari, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Di sana terdapat sekolah, madrasah, tempat peribadatan, pelelangan, dan penyimpanan ikan. Hidup orang bajo di Sama Bahari masih mengandalkan hasil laut. Mereka juga mendirikan tambak terapung dan bertani rumput laut.

Selain di Buton dan Wakatobi, orang Bajo tersebar di perairan Manado, Kendari, Kepulauan Togian, Selat Tiworo, Teluk Bone, serta Makassar. Termasuk di Kalimantan, NTB, NTT, Papua, Sumatra, dan beberapa pulau terpencil di Indonesia.

Melestarikan Laut
Uniknya, kata Munsi, masyarakat bajo berprinsip bahwa laut adalah segalanya. Laut merupakan cermin dari kehidupan masa lalu, kekinian, dan harapan masa depan. Laut juga dianggap sebagai kawan, jalan, dan persemayaman leluhur. Saking dekatnya dengan kehidupan laut, bayi dari keturunan suku Bajo yang baru lahir sudah dikenalkan dengan laut.

Suku Bajo juga memiliki filosofi tentang kesakralan laut berbunyi, Papu manak ita lino bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana. Artinya, Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, manusia memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya.

Oleh karena itu, orang Baju melestarikan sumber daya laut dengan cara menanam bakau di kawasan pesisir pantai, seperti yang terjadi di Sinjai Timur, Sulawesi Selatan. Sepanjang pantai ditanami bakau hingga 800 meter yang menjurus ke laut. Upaya penanaman hutan bakau ini boleh dibilang siasat mitigasi, ujar Munsi.


Selain itu, etnis bajo juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian terumbu karang sebagai penyangga ekosistem bawah laut, seperti di Kabupaten Wakatobi. Termasuk dalam menangkap ikan. Meski, kata Munsi, banyak nelayan suku Bajo yang tidak lagi menggunakan tombak atau alat pancing, sekarang masih menggunakan jala berukuran besar. Artinya, hanya ikan-ikan besar yang tertangkap.

sumber : http://www.koran-jakarta.com/