Minggu, 23 Mei 2010

Kearifan Lokal Manusia Perahu

Kearifan Lokal Manusia Perahu

Di tengah kesibukan para ilmuwan mencari solusi dari perubahan iklim, ternyata sebagian jawabannya ada pada kearifan suku Bajo.

Bila prediksi dampak perubahan iklim benar-benar terjadi antara 2050-2100, suku Bajo boleh dibilang masyarakat paling siap menghadapinya. Pasalnya, sejak lahir, keturunan suku Bajo sudah dikenalkan dengan kehidupan di atas permukaan air.

Menurut Profesor AB Lapian, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, suku Bajo atau bajau merupakan sekumpulan orang yang menggantungkan hidupnya di laut. Boleh dibilang hidup dan mati mereka bergantung dengan laut, ujar Lapian. Seluruh aktivitas mereka dihabiskan di atas perahu. Karena itu, mereka dikenal dengan julukan suku nomaden laut.

Hal inilah yang ingin dipelajari dan diterapkan para ilmuwan menghadapi ancaman pulau-pulau tenggelam itu. Di sisi lain, para peneliti kesulitan mendapatkan data akurat tentang asal-usul nenek moyang suku Bajo. Menurut Lapian, ada berbagai macam versi sejarah riwayat leluhur mereka. Versi cerita rakyat menyebutkan suku Bajo berasal dari Johor, Malaysia. Ada pula yang mengatakan berasal dari Filipina atau Bone (Sulawesi Selatan).

Namun, menurut Dr Munsi Lampe, antropolog dari Universitas Hasanuddin Makassar, jumlah suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di atas perahu diperkirakan semakin sedikit karena hidup menepi di pesisir pantai dan mendirikan rumah panggung.

Digambarkan dalam buku Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, rumah panggung suku Bajo dibangun menggunakan bahan yang terbilang ramah lingkungan. Dindingnya terbuat kombinasi kayu dan anyaman bambu. Sedangkan bagian atap dari daun rumbia.

Di Desa Holimombo, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, suku Bajo sudah dapat beradaptasi dengan kehidupan modern. Di desa tersebut ada semacam balai-balai tempat berkumpul masyarakat untuk menonton televisi. Mereka menggunakan antena parabola untuk mendapatkan siaran dari berbagai stasiun televisi. Meski demikian, cara mereka menonton televisi tergolong hemat energi. Sebab, selalu dilakukan beramai-ramai. Mereka juga hanya menggunakan listrik pada malam hari saja.

Kehidupan suku Bajo modern juga dapat ditengok di perkampungan Sama Bahari, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Di sana terdapat sekolah, madrasah, tempat peribadatan, pelelangan, dan penyimpanan ikan. Hidup orang bajo di Sama Bahari masih mengandalkan hasil laut. Mereka juga mendirikan tambak terapung dan bertani rumput laut.

Selain di Buton dan Wakatobi, orang Bajo tersebar di perairan Manado, Kendari, Kepulauan Togian, Selat Tiworo, Teluk Bone, serta Makassar. Termasuk di Kalimantan, NTB, NTT, Papua, Sumatra, dan beberapa pulau terpencil di Indonesia.

Melestarikan Laut
Uniknya, kata Munsi, masyarakat bajo berprinsip bahwa laut adalah segalanya. Laut merupakan cermin dari kehidupan masa lalu, kekinian, dan harapan masa depan. Laut juga dianggap sebagai kawan, jalan, dan persemayaman leluhur. Saking dekatnya dengan kehidupan laut, bayi dari keturunan suku Bajo yang baru lahir sudah dikenalkan dengan laut.

Suku Bajo juga memiliki filosofi tentang kesakralan laut berbunyi, Papu manak ita lino bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana. Artinya, Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, manusia memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya.

Oleh karena itu, orang Baju melestarikan sumber daya laut dengan cara menanam bakau di kawasan pesisir pantai, seperti yang terjadi di Sinjai Timur, Sulawesi Selatan. Sepanjang pantai ditanami bakau hingga 800 meter yang menjurus ke laut. Upaya penanaman hutan bakau ini boleh dibilang siasat mitigasi, ujar Munsi.


Selain itu, etnis bajo juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian terumbu karang sebagai penyangga ekosistem bawah laut, seperti di Kabupaten Wakatobi. Termasuk dalam menangkap ikan. Meski, kata Munsi, banyak nelayan suku Bajo yang tidak lagi menggunakan tombak atau alat pancing, sekarang masih menggunakan jala berukuran besar. Artinya, hanya ikan-ikan besar yang tertangkap.

sumber : http://www.koran-jakarta.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar