Rabu, 24 Februari 2010

Suku Naga yang Melestarikan Hutan

Suku Naga yang Melestarikan Hutan

Kampung kecil dengan potensi budaya yang besar itu terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Karena sebuah kampung, Kampung Naga hanya tercantum dalam peta desa. Walau demikian, nama kampung tersebut kesohor sampai ke luar negeri.

"Setiap bulan selalu ada wisatawan dari mancanegara yang berkunjung ke sini," kata seorang penduduk. Jangan ditanya lagi wisatawan dari dalam negeri, baik yang datang secara sengaja maupun yang hanya sambil lalu karena daerahnya terletak pada ruas jalan raya yang menghubungkan Tasikmalaya dengan Garut.

Letak daerahnya yang berada pada hamparan tanah yang menyerupai lembah, dicirikan dengan bentuk bangunannya yang seragam. Atap rumahnya yang berwarna hitam terbuat dari bahan ijuk, tampak berjejer teratur menghadap utara-selatan, dibatasi Sungai Ciwulan. Tempat permukiman tersebut tampak seperti diapit dua buah hutan.

Hutan pertama yang terletak di sisi Sungai Ciwulan disebut Leuweung Biuk. Hutan lainnya yang letaknya pada daerah yang lebih tinggi disebut Leuweung Larangan. Leuweung dalam bahasa Sunda artinya hutan. Seperti tempat-tempat lainnya yang dinamakan hutan, seluruh arealnya ditumbuhi tanaman keras yang entah sudah berapa puluh atau ratus tahun umurnya.

Namun, yang membedakan kawasan hutan di daerah itu dengan daerah lainnya di luar
Kampung Naga adalah, keadaan tumbuhan Leuweung Biuk dan apalagi tumbuhan di Leuweung Larangan tetap terjaga utuh. Kawasan itu tampak hijau dengan berbagai jenis tumbuhan yang secara sengaja dibiarkan tumbuh secara alami. Terhadap tumbuhan tersebut, tak seorang pun anggota masyarakat Suku Naga berani merusaknya karena kedua areal hutan itu dikeramatkan.


Leuweung Larangan yang luasnya kurang lebih tiga hektar, dikeramatkan karena di sana dimakamkan leluhur masyarakat Suku Naga, Sembah Dalem Eyang Singaparana. Di sebelahnya masih terdapat tiga makam lainnya, namun tidak diketahui makam siapa.

Kunjungan ke makam tersebut biasanya hanya dilakukan dalam waktu-waktu tertentu,
terutama pada saat diselenggarakan upacara hajat sasih setiap dua bulan sekali. Sebagai upacara ritual, upacara itu hanya diikuti oleh kaum laki-laki dewasa yang sebelumnya mengikuti ketentuan khusus. Misalnya, sudah melakukan beberesih, yakni mandi bersama di Sungai Ciwulan.

Upacara itu dipimpin kuncen yang bertindak sebagai kepala pemangku adat. Para peserta biasanya menggunakan pakaian yang menyerupai jubah warna putih, kepala diikat totopong, yakni sejenis ikat kepala khas Suku Naga. Selain itu mereka tidak boleh menggunakan alas kaki, baik berupa sandal apalagi sepatu.

Sementara areal hutan lainnya yang disebut Leuweung Biuk-karena letaknya dekat Saluran Biuk-berada pada kaki bukit curam yang sekaligus menjadi bibir Sungai Ciwulan. Di areal tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman keras yang berumur lebih dari 50 tahun lebih.

Berbeda dengan Leuweung Larangan, Leuweung Biuk termasuk tabu dikunjungi. "Urang Naga mah euweuh nu wani nincak," kata kuncen Ateng Jaelani. Maksudnya, anggota masyarakatnya tak seorang pun yang berani menginjakkan kakinya ke areal hutan tersebut. Apalagi, sampai menebang pohon yang tumbuh di atasnya. "Pamali" kata seorang penduduk.

Pamali sama artinya dengan tabu. Ketentuan yang tidak tertulis itu merupakan dogma yang harus dipatuhi tanpa dijelaskan lagi alasan-alasannya, apalagi sampai diperdebatkan. Sesuatu yang dikatakan pamali merupakan ketentuan dari leluhurnya yang harus dipatuhi. Jika tidak, mereka akan menanggung akibatnya, baik secara individu maupun kelompok.


Peristiwa-peristiwa seperti banjir, kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman padi yang mengakibatkan panen gagal atau berkurang produksinya misalnya, dianggap sebagai peristiwa yang tidak lepas dari hukum sebab akibat. Karena itu, ketika terjadi perambahan tanah adat yang kemudian dijadikan hutan industri dan perkebunan, masyarakat adat Suku Naga sudah memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ateng Jaelani mengungkapkan, tanah adat Suku Naga sebenarnya cukup luas yang mencakup wilayah Gunung Sunda, Gunung Satria, Gunung Panoongan, Gunung Raja, Pasir Halang sampai batas jalan raya yang menghubungkan Tasikmalaya-Garut. Daerah itu sekaligus merupakan sub Daerah Aliran Sungai Ciwulan yang harus dijaga kelestariannya.

Namun, pada masa Orde Baru, tanah adat tersebut dianggap tanah telantar, sehingga kemudian dijadikan tanah negara lalu dijadikan hutan tanaman industri (HTI) dan perluasan perkebunan teh. "Padahal bukan telantar, tetapi memang sengaja dibiarkan," kata Ateng Jaelani. Menurut dia, setelah tujuh tahun, tanah itu akan dibuka kembali untuk kemudian ditanami karena dianggap sudah subur lagi.

Bahwa sebagai nilai lokal, pandangan hidup masyarakat adat Suku Naga yang berkaitan dengan lingkungannya tersebut sebenarnya mengandung kearifan yang tidak banyak disadari oleh masyarakat kita sekarang. Buktinya, hanya dengan pamali misalnya, masyarakat adat Suku Naga ternyata telah mampu menahan diri, sehingga tidak terjadi perambahan kawasan hutan yang dianggap terlarang.

Padahal jika dilihat dari tuntutan kebutuhan dan keterbatasan sumber daya alam yang dimiliki, desakan tuntutan tersebut jauh lebih kuat dibanding masyarakat sekitarnya. Masyarakat adat Suku Naga yang menempati wilayah sekitar 10,5 hektar, sekitar 1,5 hektar di antaranya dijadikan tempat permukiman. Sekitar tiga hektar di antaranya merupakan kawasan Leuweung Larangan dan sisanya untuk pertanian, baik sawah, ladang maupun kolam.



Dilihat dari pola hidupnya yang banyak menggunakan bahan-bahan lokal, baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal, tingkat kebutuhannya sebenarnya relatif lebih tinggi. Rumah-rumah mereka tidak mengenal listrik dan mereka memasak dengan menggunakan kayu bakar.

Masyarakat adat Suku Naga tabu membangun rumah dengan menggunakan bahan bangunan industri, kecuali paku. Atap rumahnya terbuat dari ijuk dan dinding-dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Seluruh tiang penyangga menggunakan balok kayu. Bahan-bahan lokal tersebut berusaha dipenuhi sendiri tanpa harus merusak kawasan hutannya.

Sayang, nilai-nilai lokal yang mengandung kearifan tersebut, dalam masyarakat sekarang ini kurang diperhatikan lagi. Benturan perbedaan kepentingan tersebut tampak ketika masyarakat adat Suku Naga dan sejumlah masyarakat adat lainnya di Jawa Barat, melalui tokoh-tokohnya menyampaikan petisi agar kegiatan penebangan hutan dihentikan. Melalui tokoh-tokohnya mereka mendesak agar kawasan hutan yang kini gundul segera ditanami kembali.

Untuk masyarakat adat Suku Naga, permintaan itu terasa mendesak mengingat perambahan hutan lindung terus berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini. Ironisnya, perambahan itu dilakukan bukan oleh masyarakat Suku Naga, melainkan oleh masyarakat luar yang selama ini menganggap dirinya memiliki latar belakang pengetahuan lebih maju.

Sebaliknya masyarakat adat Suku Naga sendiri tidak seorang pun yang berani memasuki areal kawasan hutan tersebut. Mereka berusaha menjaga kelestariannya. Dengan demikian perambahan kawasan hutan lindung Gunung Raja dianggap telah melindas nilai-nilai lokal yang selama ini dianutnya.

Di daerah itu menurut Ateng Jaelani, terdapat situs yang memiliki kaitan erat dengan asal-usul masyarakat adat Suku Naga. Selain itu, sebagai bagian dari sub-Daerah Aliran Sungai Ciwulan, kawasan tersebut patut dipertahankan mengingat salah satu peran pentingnya sebagai sumber air masyarakat adat Suku Naga.

Bahwa akibat perambahan akan berdampak pada penyediaan air demi kelangsungan hidupnya, rasanya bukan sesuatu yang mengada-ada. Contoh-contoh konkret yang selama ini terjadi di berbagai daerah yang mengalami akibat terjadinya bencana alam longsor dan banjir sebenarnya sudah merupakan peringatan, bahwa alam tidak bisa lagi bersahabat. Kawasan hutan yang dirusak telah mengakibatkan kekeringan di musim kemarau.

Masyarakat adat Suku Naga yang menempati wilayah yang disebut Kampung Naga itu, selama ini diakui memiliki potensi budaya yang besar merupakan bagian tidak terpisahkan dari budaya Sunda. Mereka hidup mengelompok tanpa mengisolasi diri dengan lingkungan dan kehidupan daerah sekitarnya, akan tetapi tetap mempertahankan pandangan hidup dan tradisinya di tengah gelombang modernisasi yang masuk pada era globalisasi.



Sumber: kompas cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar